Sunday, June 20, 2010

Budi Luhur

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih
Maha Penyayang

Sesungguhnya aku diutus untuk
memperbaiki akhlak –
Rasulullah SAW


Siapakah yang sanggup memberi jika tidak dengan budinya. Paling mahal seperti yang termaktub dalam kitabullah. Jiwa inilah jadi gadaian. Nyawa inilah jadi taruhan. Siapakah pula yang sanggup menerima jika tidak dengan budinya juga. Paling murahpun, terimalah dengan ucap terima kasih seadanya.

Asal filsafat dari akallah tempatnya. Asal budi dari hatilah tempatnya. Berpantunlah orang Melayu –

Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik dikenang juga

Pantunan lain –
Kalau ada jarum patah
Jangan simpan dalam peti
Kalau ada silap salah
Jangan simpan dalam hati

Ada lagi –
Pisang emas dibawa belayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati

Lihat sajalah betapa orang Melayu ini, bangsa yang berkulit sawo matang ini – menghargai dan mencintai budi. Dan pastilah sesiapa empunya diri yang punya budi akan diangkat setinggi langit. Namanya akan disebut-sebut. Jasanya akan dihebah-hebah. Budinya akan diwar-war. Pada yang menerima budi, berceritalah – si anu pernah suatu ketika saat aku dalam uzur, ditolongnya aku dengan budinya. Tiada mengharap secebispun balas. Semoga Tuhan Allah sahajalah yang membalasnya.

Setiap yang berbudi padanya akan dikenang. Dikenangnya orang itu sampai ke mati, sampai ke liang lahad. Biar badan hancur, tidak mengapa. Padahal pada yang berbuat budi – bantuan itu tidaklah sebesar mana, tidaklah seberat mana sebab budi yang ditabur itu diserah kepada Tuhan buat menilai akan dirinya. Pada yang memberi budi – syukur pada Tuhan sebab dengan izin-Nya orang itu dapat dibantu. Terlepas dari susah sementara ini. Itulah budi yang luhur sebenarnya. Sungguh, betapa besarnya pengaruh budi di dalam masyarakat dan alam ini.

Dan pada diri anak Adam ini – banyaklah tempat yang jadi perhatian anak Adam yang lainnya. Banyak antaranya – rupa paras yang dipandangnya. Setengah yang lainnya – bijak akal yang ditiliknya. Ada yang lainnya – sasa tubuh yang ditengoknya. Kadang-kadang yang dipandang tinggi itulah terbit darinya bibit-bibit cinta. Tumbuhnya rasa kasih dan sayang. Tetapi di antara semua itu, ada suatu perkara yang apabila dipandang merendah yang lain kepadanya – tunduk akur. Yang budi itulah.



Yang budi itulah yang jika dipandang – memandanglah yang lain kepadanya. Akan menaruh hormat orang kepadanya. Kawan menjadi semakin rapat. Lawan menjadi semakin dekat. Akan ditentang juga, tiada berdaya sebab kalaupun hormat tidak beroleh di luar – diam-diam di dalam diri timbul rasa hormat itu. Alangkah baiknya dia. Alangkah budimannya dia. Sebab budi itulah.

Jika demikianlah pengaruh budi – alat apakah yang dipakai buat mengukur budi. Sebab budi itu, kerap kali orang tersalah ukur. Asal berbudi, diharap pula akan dibalas budinya atau paling tidakpun – ada udang di sebalik batu. Yang menerima budi akan termakan budi dan akan tergadailah budi mereka pada yang berbuat budi itu. Padahal budi itulah pelitanya hidup, serinya hidup. Jika sudah rentung budinya, apalah makna hidup ini, apalah guna hidup ini.

Akan budi itu alat ukurnya tiada lain tidak bukan adalah agama. Baik kata agama – baiklah budi itu. Biar seribu orang mengatakannya jahat. Biar seluruh orang di atas muka bumi berpakat mengatakannya jahat. Dan jahat menurut agama – jahatlah budi itu. Biar sejuta orang mengatakannya baik. Sebab – tidak boleh budi itu diukur menurut akal sendiri. Tidak boleh budi itu diukur mengikut nafsu sendiri.

Demikianlah – sesungguhnya budi yang luhur tidak boleh ditimbang kati, tidak boleh dijual beli. Justeru – timbul soal di benak ini. Adakah sanggup insan mempunyai budi seperti itu. Siapakah yang cakap mempunyai budi sebegitu? Yang sangat luhur budinya – tiada tandingan, tidak terjangkau ketinggian pekertinya adalah junjungan kita – Nabi Muhammad s.a.w puteranya Abdullah. Akan kita ini – ikutlah Nabi contohilah dia. Sebab itulah sebab dia diutuskan. Akan kita ini, laksana kata bidalan – kalau tidak dipecahkan ruyungnya manakan dapat sagunya. Biar derita biar seksa buat memperbaiki budi namun menyerah pantang sekali.

Ilham rasa,
abuyon
Keramat Wangsa, November 1997



Terima kasih ya Allah. Syukur pada-Mu. Tulisan di atas adalah antara catatan lama saya pada tahun 1997. Telah tergerak pula hati saya untuk memaparkan tulisan ini di sini setelah sekian lama. Ya Tuhan, tidaklah dapat aku menulis melainkan dengan gerak-Mu. Moga yang membacanya beroleh rasa dan faham, Insya-Allah. Moga-moga aku dapat menulis lagi, Insya-Allah.

Dari tarikan nafas,
@buyon